Sektor telekomunikasi seluler merupakan salah satu
bidang yang mengalami perkembangan teknologi yang sangat
cepat. Jika kita perhatikan dengan kehadiran layanan yang ditawarkan oleh operator, lahirnya berbagai layanan baru
sangatlah cepat. Sementara jika kita lihat kemunculan telepon seluler di pasaran, rata-rata para pemimpin pasar telepon
seluler (ponsel) mengeluarkan 8-20 tipe ponsel baru setiap tahun.
Artinya, betapa cepatnya inovasi teknologi itu terjadi. Salah satu perkembangan teknologi di dunia seluler adalah teknologi
messaging (pengiriman pesan) mulai dari SMS (short message service), EMS (enhanced message service), dan yang
sekarang sedang gencar dipromosikan para pelaku bisnis seluler adalah MMS (multimedia message service). Hadirnya
teknologi MMS dapat dikatakan sebagai suatu revolusi teknologi messaging karena dari kondisi yang semula hanya dapat
mengirimkan pesan berupa teks, dan gambar atau nada dering sederhana, sekarang juga dapat digunakan untuk
mengirim foto, gambar bergerak, maupun nada dering yang lebih kompleks. Hal ini seharusnya direspons dengan
kreativitas yang lebih tinggi.
Teknologi MMS diharapkan dapat menggantikan posisi SMS nantinya. Namun, sepertinya hal itu akan terwujud pada saat
tarif MMS sudah murah mendekati tarif SMS, perangkat ponselnya juga sudah terjangkau bagi kalangan menengah
(berkisar Rp 1,5 juta ), dan inter-operator dapat dilakukan. Kalau total lalu lintas MMS di Indonesia (yang disediakan oleh
dua operator) berkisar 20.000 MMS per hari, maka sangat diperlukan sekali strategi untuk mendorong pemanfaatan MMS
ini agar dapat mengimbangi lalu lintas SMS yang lebih dari 15 juta per hari.
Lalu lintas MMS di atas merupakan kondisi saat ini di mana tarif MMS masih gratis sehingga hal itu sangat dimungkinkan
akan semakin turun saat dikenai tarif. Data yang dilansir Ovum, salah satu perusahaan konsultan dan survei, diperkirakan
bahwa sekitar tahun 2006 jumlah pengguna SMS dunia akan mulai menurun (dari sekitar 1.000 miliar per tahun),
sementara pengguna MMS akan naik tajam (berkisar 350 miliar pesan per tahun) pada tahun yang sama. Dan, sekitar 3-4
tahun kemudian dimungkinkan akan memiliki jumlah yang sama. Namun, apakah hal itu akan terjadi di Indonesia dalam
kisaran waktu tersebut?
Salah satu strategi yang diusulkan dalam mendorong peningkatan revenue melalui layanan MMS ini adalah dengan
menghadirkan berbagai aplikasi yang dapat memicu penggunaan MMS sehingga kita akan memiliki justifikasi bahwa
implementasi MMS ini bukan sekadar untuk menjaga gengsi saja yang pada gilirannya dapat menjadikan kita sebagai
korban teknologi. Tapi, implementasi teknologi ini memang layak dilakukan karena memang memiliki tuntutan yang tinggi.
Saat ini kita sudah dapat mendapatkan berbagai ponsel ber-MMS dengan kisaran harga Rp 1,5 juta, dan tampaknya
industri ponsel dan industri yang tergolong teknologi komunikasi dan informasi telah mencapai skala ekonominya
sehingga biaya yang timbul akan semakin murah seiring dengan perkembangan waktu. Namun anehnya tarif telepon
tetap terus naik. Dengan demikian, diharapkan tidak lama lagi akan tersedia banyak ponsel MMS yang terjangkau
masyarakat luas. Hadirnya MMS bersamaan dengan beberapa fasilitas barunya menjadikan kita dapat membuat berbagai
aplikasi yang lebih menarik.
Ada banyak aplikasi yang dapat dibangun dengan menggunakan platform MMS, antara lain aplikasi telemetri. Kalau
sebelumnya kita hanya mendapatkan informasi berupa teks jika menggunakan SMS sebagai medianya, misalnya data
temperatur mesin, sekarang dapat juga mendapatkan informasi berupa grafik mengenai perubahan temperatur dalam
periode tertentu.
MMS juga dapat dimanfaatkan untuk aplikasi monitoring. Salah satu aplikasi yang dikembangkan oleh perusahaan lokal
Jaya I-net adalah mengombinasikannya dengan kamera CCTV. Jika kamera tersebut terpasang di rumah, tempat
penitipan anak, atau jalan raya, dengan menyambungkannya pada sebuah server berupa komputer sederhana, maka
kapan pun Anda dapat mengetahui informasi keadaan rumah, kondisi anak di tempat penitipan anak, maupun kondisi lalu
lintas jalan raya yang tidak hanya berupa teks informasi, namun juga gambar atau foto yang akan dikirimkan secara
otomatis ke ponsel melalui MMS. Dan jika sedang di kantor, kita bisa mengakses server tersebut melalui jaringan Internet.
Saat ini teknologi komunikasi yang juga sedang marak adalah teknologi Wireless Fidelity atau yang sering banyak orang
kenal sebagai Wireless LAN. Di Indonesia mungkin memang baru mulai berkembang dengan munculnya beberapa lokasi
akses atau yang sering disebut Hot Spot yang kemudian dipadukan dengan teknologi seluler sebelumnya, yaitu GPRS.
Dengan demikian, pada area di luar Hot Spot orang akan menggunakan akses GPRS untuk akses Internet mereka,
namun secara otomatis akan berganti ke koneksi W-LAN begitu memasuki Hot Spot yang menawarkan kecepatan sampai
512 Kbps.
Pertanyaannya sekarang apakah pembangunan Hot Spot di banyak tempat memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan
dan dapatkah tawaran berbagai layanan baru tersebut mendorong pertumbuhan profit? Saat ini sudah waktunya bagi kita
untuk tidak hanya memperhatikan ARPU (average revenue per user) untuk mengetahui kinerja operator, namun lebih tepat
kalau kita memperhatikan AMPU (average margin per user) karena dimungkinkan bahwa ARPU-nya naik, namun setelah
dikurangi dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan layanan tersebut ternyata biayanya lebih besar dibanding
revenue yang didapat.
Begitu pula sebaliknya, jika ARPU turun apakah sudah pasti perusahaan tersebut rugi? Belum tentu! Karena
dimungkinkan terjadi akibat meledaknya pengguna kartu prabayar yang kontribusi revenue setiap penggunanya rendah.
Dan, karena jumlahnya yang banyak, maka akan mempengaruhi hasil rata-ratanya, di mana bilangan pembaginya
menjadi besar padahal dengan hadirnya teknologi tinggi, biaya implementasi menjadi turun.
Dengan demikian, sekalipun ARPU-nya rendah, namun selama masih lebih besar dibandingkan biaya rata-rata yang
dibutuhkan, operator tersebut masih akan untung. Oleh karena itu, tujuannya tidak sekadar peningkatan ARPU, misalnya
dengan cara menghadirkan berbagai layanan baru, tetapi perlu diperhatikan juga apakah biaya implementasi layanan
tersebut seimbang dengan kenaikan revenue-nya. Tampaknya kehadiran beragam layanan data yang diharapkan dapat
mendorong peningkatan ARPU, tidak menjamin peningkatan profit mereka.
Karena itu, banyaknya teknologi baru yang hadir memerlukan kecermatan dalam memilih teknologi mana yang dapat
diserap pasar. Kalau tidak, kita hanya akan tetap menjadi pasar teknologi yang empuk bagai para pemain asing dan
secara ekonomis kita tidak mendapatkan keuntungan darinya.
Apabila diasumsikan biaya investasi untuk layanan MMS sebesar 1 juta dollar AS, jika tingkat pengembalian modal
selama 5 tahun dengan tarif Rp 350, maka dibutuhkan trafik setiap harinya sekitar 15.000 MMS. Jadi, agar teknologi ini
bisa diserap oleh pasar, seharusnya MMS diberikan tarif layaknya SMS dan fokus dilakukan dengan mendorong
pertumbuhan trafik yang salah satunya melalui aplikasi. Banyaknya jumlah ponsel ber-MMS dengan harga yang terjangkau
banyak kalangan, khususnya pengguna terbesar SMS/MMS yaitu kelompok muda, maka jumlah 15.000 per hari adalah
jumlah yang sangat kecil. Dengan demikian, tidak lama lagi MMS akan dapat menggantikan SMS sebagai penghasil
revenue terbesar bagi operator setelah layanan suara.
cepat. Jika kita perhatikan dengan kehadiran layanan yang ditawarkan oleh operator, lahirnya berbagai layanan baru
sangatlah cepat. Sementara jika kita lihat kemunculan telepon seluler di pasaran, rata-rata para pemimpin pasar telepon
seluler (ponsel) mengeluarkan 8-20 tipe ponsel baru setiap tahun.
Artinya, betapa cepatnya inovasi teknologi itu terjadi. Salah satu perkembangan teknologi di dunia seluler adalah teknologi
messaging (pengiriman pesan) mulai dari SMS (short message service), EMS (enhanced message service), dan yang
sekarang sedang gencar dipromosikan para pelaku bisnis seluler adalah MMS (multimedia message service). Hadirnya
teknologi MMS dapat dikatakan sebagai suatu revolusi teknologi messaging karena dari kondisi yang semula hanya dapat
mengirimkan pesan berupa teks, dan gambar atau nada dering sederhana, sekarang juga dapat digunakan untuk
mengirim foto, gambar bergerak, maupun nada dering yang lebih kompleks. Hal ini seharusnya direspons dengan
kreativitas yang lebih tinggi.
Teknologi MMS diharapkan dapat menggantikan posisi SMS nantinya. Namun, sepertinya hal itu akan terwujud pada saat
tarif MMS sudah murah mendekati tarif SMS, perangkat ponselnya juga sudah terjangkau bagi kalangan menengah
(berkisar Rp 1,5 juta ), dan inter-operator dapat dilakukan. Kalau total lalu lintas MMS di Indonesia (yang disediakan oleh
dua operator) berkisar 20.000 MMS per hari, maka sangat diperlukan sekali strategi untuk mendorong pemanfaatan MMS
ini agar dapat mengimbangi lalu lintas SMS yang lebih dari 15 juta per hari.
Lalu lintas MMS di atas merupakan kondisi saat ini di mana tarif MMS masih gratis sehingga hal itu sangat dimungkinkan
akan semakin turun saat dikenai tarif. Data yang dilansir Ovum, salah satu perusahaan konsultan dan survei, diperkirakan
bahwa sekitar tahun 2006 jumlah pengguna SMS dunia akan mulai menurun (dari sekitar 1.000 miliar per tahun),
sementara pengguna MMS akan naik tajam (berkisar 350 miliar pesan per tahun) pada tahun yang sama. Dan, sekitar 3-4
tahun kemudian dimungkinkan akan memiliki jumlah yang sama. Namun, apakah hal itu akan terjadi di Indonesia dalam
kisaran waktu tersebut?
Salah satu strategi yang diusulkan dalam mendorong peningkatan revenue melalui layanan MMS ini adalah dengan
menghadirkan berbagai aplikasi yang dapat memicu penggunaan MMS sehingga kita akan memiliki justifikasi bahwa
implementasi MMS ini bukan sekadar untuk menjaga gengsi saja yang pada gilirannya dapat menjadikan kita sebagai
korban teknologi. Tapi, implementasi teknologi ini memang layak dilakukan karena memang memiliki tuntutan yang tinggi.
Saat ini kita sudah dapat mendapatkan berbagai ponsel ber-MMS dengan kisaran harga Rp 1,5 juta, dan tampaknya
industri ponsel dan industri yang tergolong teknologi komunikasi dan informasi telah mencapai skala ekonominya
sehingga biaya yang timbul akan semakin murah seiring dengan perkembangan waktu. Namun anehnya tarif telepon
tetap terus naik. Dengan demikian, diharapkan tidak lama lagi akan tersedia banyak ponsel MMS yang terjangkau
masyarakat luas. Hadirnya MMS bersamaan dengan beberapa fasilitas barunya menjadikan kita dapat membuat berbagai
aplikasi yang lebih menarik.
Ada banyak aplikasi yang dapat dibangun dengan menggunakan platform MMS, antara lain aplikasi telemetri. Kalau
sebelumnya kita hanya mendapatkan informasi berupa teks jika menggunakan SMS sebagai medianya, misalnya data
temperatur mesin, sekarang dapat juga mendapatkan informasi berupa grafik mengenai perubahan temperatur dalam
periode tertentu.
MMS juga dapat dimanfaatkan untuk aplikasi monitoring. Salah satu aplikasi yang dikembangkan oleh perusahaan lokal
Jaya I-net adalah mengombinasikannya dengan kamera CCTV. Jika kamera tersebut terpasang di rumah, tempat
penitipan anak, atau jalan raya, dengan menyambungkannya pada sebuah server berupa komputer sederhana, maka
kapan pun Anda dapat mengetahui informasi keadaan rumah, kondisi anak di tempat penitipan anak, maupun kondisi lalu
lintas jalan raya yang tidak hanya berupa teks informasi, namun juga gambar atau foto yang akan dikirimkan secara
otomatis ke ponsel melalui MMS. Dan jika sedang di kantor, kita bisa mengakses server tersebut melalui jaringan Internet.
Saat ini teknologi komunikasi yang juga sedang marak adalah teknologi Wireless Fidelity atau yang sering banyak orang
kenal sebagai Wireless LAN. Di Indonesia mungkin memang baru mulai berkembang dengan munculnya beberapa lokasi
akses atau yang sering disebut Hot Spot yang kemudian dipadukan dengan teknologi seluler sebelumnya, yaitu GPRS.
Dengan demikian, pada area di luar Hot Spot orang akan menggunakan akses GPRS untuk akses Internet mereka,
namun secara otomatis akan berganti ke koneksi W-LAN begitu memasuki Hot Spot yang menawarkan kecepatan sampai
512 Kbps.
Pertanyaannya sekarang apakah pembangunan Hot Spot di banyak tempat memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan
dan dapatkah tawaran berbagai layanan baru tersebut mendorong pertumbuhan profit? Saat ini sudah waktunya bagi kita
untuk tidak hanya memperhatikan ARPU (average revenue per user) untuk mengetahui kinerja operator, namun lebih tepat
kalau kita memperhatikan AMPU (average margin per user) karena dimungkinkan bahwa ARPU-nya naik, namun setelah
dikurangi dengan biaya yang diperlukan untuk menghadirkan layanan tersebut ternyata biayanya lebih besar dibanding
revenue yang didapat.
Begitu pula sebaliknya, jika ARPU turun apakah sudah pasti perusahaan tersebut rugi? Belum tentu! Karena
dimungkinkan terjadi akibat meledaknya pengguna kartu prabayar yang kontribusi revenue setiap penggunanya rendah.
Dan, karena jumlahnya yang banyak, maka akan mempengaruhi hasil rata-ratanya, di mana bilangan pembaginya
menjadi besar padahal dengan hadirnya teknologi tinggi, biaya implementasi menjadi turun.
Dengan demikian, sekalipun ARPU-nya rendah, namun selama masih lebih besar dibandingkan biaya rata-rata yang
dibutuhkan, operator tersebut masih akan untung. Oleh karena itu, tujuannya tidak sekadar peningkatan ARPU, misalnya
dengan cara menghadirkan berbagai layanan baru, tetapi perlu diperhatikan juga apakah biaya implementasi layanan
tersebut seimbang dengan kenaikan revenue-nya. Tampaknya kehadiran beragam layanan data yang diharapkan dapat
mendorong peningkatan ARPU, tidak menjamin peningkatan profit mereka.
Karena itu, banyaknya teknologi baru yang hadir memerlukan kecermatan dalam memilih teknologi mana yang dapat
diserap pasar. Kalau tidak, kita hanya akan tetap menjadi pasar teknologi yang empuk bagai para pemain asing dan
secara ekonomis kita tidak mendapatkan keuntungan darinya.
Apabila diasumsikan biaya investasi untuk layanan MMS sebesar 1 juta dollar AS, jika tingkat pengembalian modal
selama 5 tahun dengan tarif Rp 350, maka dibutuhkan trafik setiap harinya sekitar 15.000 MMS. Jadi, agar teknologi ini
bisa diserap oleh pasar, seharusnya MMS diberikan tarif layaknya SMS dan fokus dilakukan dengan mendorong
pertumbuhan trafik yang salah satunya melalui aplikasi. Banyaknya jumlah ponsel ber-MMS dengan harga yang terjangkau
banyak kalangan, khususnya pengguna terbesar SMS/MMS yaitu kelompok muda, maka jumlah 15.000 per hari adalah
jumlah yang sangat kecil. Dengan demikian, tidak lama lagi MMS akan dapat menggantikan SMS sebagai penghasil
revenue terbesar bagi operator setelah layanan suara.